Krama
Desa Pakraman Gunaksa, Kecamatan Dawan, Klungkung menggelar tradisi ritual
Mejaga-jaga pada Radite Pon Tambir. Tradisi dengan ritual pokok menghaturkan
kurban seekor sapi ini dipusatkan di Pura Buit, Desa Pakraman Gunaksa. Ritual
Mejaga-jaga sendiri digelar 3 hari sebelum upacara Ngusaba Pitra di Desa
Pakraman Gunaksa, yang puncaknya jatuh rahina Buda Umanis Tambir. Kurban berupa
seekor sapi yang dihaturkan dalam ritual ini disebut Sapi Mejaga-jaga. Prosesi
ritual Mejaga-jaga ini muncul karena kutukan dari Sang Rare Angon.
Dalam
melaksanakan tradisi ritual Menjaga-jaga ini, krama Desa Pakraman Gunaksa yang
berjumlah 1.200 kepala keluarga (KK) dilakukan secara bergilir 7 banjar adat,
yakni Banjar Babung, Banjar Tengah, Banjar Nyamping, Banjar Bandung, Banjar
Patus, Banjar Buayang, dan Banjar Kebon.
Prosesi
menghaturkan kurban Sapi Menjaga-jaga diawali dengan matur piuning di Pura
Buit. Kemudian, dilanjut dengan melakukan murwa daksina (memutar searah jarum
jam) sebanyak tiga kali di areal Pura Buit. Kurban Sapi Mejaga-jaga selanjutnya
diarak krama desa menuju arah utara yang berjarak sekitar 1,8 kilometer,
tepatnya di areal jaba Pura Puseh, Desa Pakraman Gunaksa.
Di
jaba Pura Puseh, Sapi Mejaga-jaga kembali digiring melakukan murwa daksina.
Habis itu, ritual kembali ke Pura Buit untuk nyambleh (menyembelih) kepala
sapi. Nah, tenggek (kepala sapi) yang telah disembelih kemudian diletakan di
atas sebuah palinggih dalam Pura Buit.
Sedangkan bagian tubuh sapi ditaruh
dalam lubang di areal Pura Buit yang sudah digali sebelumnya dengan luas 2
meter x 1 meter dan kedalaman 1,5 meter. Menjelang malam pukul 18.30 Wita,
kepala sapi kembali diambil untuk dikubur bersama tubuhnya.
Menurut
Perbekel Gunaksa, I Ketut Budiarta, tradisi ritual Mejaga-jaga ini rutin
digelar setahun sekali saat upacara Ngusaba Pitra, yang biasanya dilaksanakan
pada Sasih Kadasa. Meskipun ritual Mejaga-jaga digelar secara bergilir krama di
7 banjar adat, namun biaya upakara ditanggung oleh Desa Pakraman Gunaksa. Sapi yang boleh digunakan ritual Mejaga-jaga
merupakan sapi bercula dan sudah dikebiri.
Ritual Mejaga-jaga ini digelar untuk
menetralisir hal-hal negatif di wewidangan Desa Pakraman Gunaksa. Mejaga-jaga
itu sendiri memiliki makna menjaga. Sesuai maknanya, maka sapi yang menjadi
kurban dijaga agar tidak keluar dari wewidangan Desa Pakraman Gunaksa sebelum
disembelih. Penjagaan ini ditunjukkan ketika prosesi berlangsung, di mana sapi
diikat dengan tali kain putih di tanduknya, sementara badannya juga diikat
dengan tali plastik. Setelah diikat, barulah sapi kurban ini diarak keliling
desa.
Budiarta
mengisahkan, tradisi ritual Mejaga-jaga secara historis ada kaitan dengan kisah
pengembala sapi yang dikenal sebagai Rare Angon, putra dari Prabu Erlangga dan
Ni Berit Kuning. Rare Angon memiliki dua ekor sapi yang dikenal dengan sapi
Sapuh Jagat, karena ekornya sampai menyentuh tanah. Sapi Sapuh Jagat ini
diyakini mampu memberikan kesuburan bagi lahan pertanian yang dilewati.
Karenanya, warga banyak meminjam Sapi Sapu Jagat tersebut. Singkat cerita,
seorang warga beranama I Surakerta nekat membunuh Sapi Sapu Jagat tersebut,
karena dipengaruhi nafsu keserakahan. Akhirnya, Rare Angon mengutuk I Surakerta
agar roh yang bersangkutan beserta keturuanannya akan sosot. Untuk menyomia (menetralisir)
kutukan tersebut hanya bisa dilakukan dengan menghaturkan kurban nyambleh sapi.
Dari situlah munculnya ritual Mejaga-jaga di Desa Pekraman Gunaksa.
Sementara
itu, 10 hari sebelum upacara Ngusaba Pitra, juga dilaksanakan ritual Metuun
Sang Hyang di Pura Dalem Setra atau Pura Dalem Tungkub, Desa Pakraman Gunaksa.
Saat itu, ditancapkan kober (bendara) di areal Ulun Setra, sebagai pertanda
bahwa Desa Pakraman Gunaksa pantang metiwa-tiwa alias tidak melakukan
penguburan jenazah, palebon, dan sebagainya. Kalau ada orang yang meninggal
saat hari tesebut, jenazahnya harus mengkingsan (disembunyikan) di rumah duka
masing-masing. Jika prosesi Ngusaba Pitra sudah selesai, barulah jenazah bisa
dikubur.