Jumat, 30 Desember 2016

"MITOS GEMPA DI BALI"

Mitos Gempa yang disebabkan oleh pergerakan Se-eokor Naga di bawah tanah

Hai Guys kali ini aku ingin berbagi Mitos tentang gempa nih.. kalian tau gempa kan atau dalam bahasa balinya yaitu Linuh.
Di Bali khususnya di desa saya Desa Gunaksa percaya akan adanya mitos pergerakan seekor naga di bawah tanah yang menyebabkan gempa. Jadi aku ingin berbagi cerita mitos gempanya ini guys.. selamat membaca ya ...

Dahulu ketika jama kerajaan, ada seorang janda beranak dua, laki-laki dan perempuan. Pada waktu itu Danau Bratan belum ada. Singkat cerita, sang ibu mempunyai hubungan dengan siluman ular besar, atau ular Naga yang berdiam di dalam lubung padi di dekat rumahnya. Lama kelamaan sang anak mulai menaruh curiga, kenapa ibunya setiap pulang dari hutan selalu naik ke lumbung.
Pada suatu saat, ketika ibunya pergi ke hutan, dia naik ke lumbung. Di dalam lumbung dilihatnya ada tumpukan telur yang ukurannya lebih besar dari telur ayam. Di tengah tumpukan telur tersebut terdapat sebuah telur aneh. Telur tersebur diambil dan dimasak lalu dimakan oleh anaknya yang laki.
Seketika wujud kakaknya berubah menjadi ular. Karena kuatir akan menimbulkan keributan di dalam kampung, mereka pergi ke hutan mencari ibu mereka. Lalu oleh sang adik, kakaknya tersebut digendong lari ke dalam hutan. Di dalam hutan mereka bertemu dengan ibu mereka yang sedang menjalin kasih dengan seekor ular naga. Lalu marahlah mereka, karena menganggap gara-gara Naga tersebut, si kakak menjadi seperti itu. Ditantangnya ular naga tersebut berkelahi. Akhirnya sang kakak yang telah berubah wujud menjadi ular berhasil mengalahkan ular naga tersebut. Namun sayang ibu mereka pun turut meninggal dalam perkelahian itu.
Kemudian mereka berjalan sampai ke arah Bukit Lesung. Sesampainya disana, sang kakak berpikiran dia harus masuk ke perut bumi, sebab dia telah menjadi Naga, yaitu Naga Gombang. Supaya adiknya tidak kaget, dia lalu menyuruh adiknya mengambil air dengan keranjang. Tujuannya agar ketika dia masuk ke perut bumi, adiknya tidak melihat dan kaget.
Ketika adiknya sibuk mengambil air dengan keranjang tersebut, sang kakak masuk ke dalam kawah gunung. Saat adiknya kembali dari mengambil air, sang kakak telah berada di perut bumi. Sang kakak berkata, jangan kau tangisi, kakakmu memang sudah takdirnya berada di dibawah (perut bumi). Sesampainya dibawah, sang kakak yang telah menjadi ular Naga tersebut melingkar, seperti posisi ular sedang tidur.
Konon katanya, kalau sang kakak gelisah ingin tau kabar adiknya di atas, dia akan bergerak, yang mengakibatkan bumi menjadi bergoyang. Karena itulah ketika terjadi gempa, masyarakat Bali akan berteriak “idup, idup” sambil membunyikan kentongan, atau alat lainnya untuk memberitahu sang kakak bahwa adiknya masih hidup di atas.

Sampai sekarang jika terjadi gempa/Linuh masyarakat di desa masih tetap meneriakkan kata "idup..idup.." sambil memukul kentongan, seng, atau benda lainnya agar gempa cepat berlalu.

PERMAINAN TRADISIONAL

Hallo Geess... hari ini aku ingin berbagi tentang permainan yang dulu pernah aku mainkan waktu SD, permainan ini dulu sangat terkenal dikalangan siswa SD namun sekarang sudah jarang ada anak-anak yang memainkan permainan ini karna teknologi sudah semakin canggih, jadi anak-anak sekarang pada main gadget atau HandPhone. Jadi sekarang aku ingin berbagi tentang permainan dulu yang sering aku mainkan ketika masih SD dan sangat menyenangkan . Dibaca ya .....

Permainan Tradisional Bola Bekel


Yang pertama ada permainan bola bekel. Permainan bola bekel ini permainan yang sangat digemari dan paling ramai di masa aku SD. Dulu waktu aku masih SD bela-belain ke pantai cuma untuk nyari batu kecil-kecil yang halus untuk permainan ini. Bola bekelnya juga mudah didapat di warung atau kantin sekolah, jika sudah kehabisan bola bekel aku sering menggunakan kelereng sebagai penganti bola bekel. Cara memainkannya butuh keahlian dan harus dicoba beberapa kali agar bisa, karena permainan ini tidak semudah yang dibayangkan.
Ada beberapa benda yang perlu disiapkan untuk memainkannya, yang pertama bola bekel yang bentuknya bola kecil, biasanya di dalam bola diisi air atau juga bisa menggunaka kelereng ya. Dan ada enam biji yang disebut bekel atau batu kecil-kecil juga bisa dipakai kok. Permainan ini ada beberapa step, mulai dari step mengambil satu biji bekel sampai enam bekel.
Lalu membalik biji bekel yang lain dan biji membentur lambang laguk , dan dimulai dari mengambil satu biji sampai enam biji. Lanjut lagi dengan membalik kearah sebaliknya dan sama prosesnya, mengambil dari satu biji sampai enam biji. Jika step sudah selesai, dilanjut dengan membalik lagi biji bekel yang ada tanda titiknya. Sama seperti yang tadi dilakukan secara berurutan mulai dari mengambil satu biji hingga enam biji. Setelah selesai semua step, maka jika ada yang berhasil memenangkan step terlebih dahulu maka dijadikan pemenang. Dan yang menang mendapatkan hadiah berupa menyuruh anak-anak menjadi patung atau memberi bedak di bagian wajah yang kalah.
Seru kan GESS ,, hehehe.. tapi sayang ya jaman sekarang jarang ada anak-anak yang memainkan permainan ini karena lebih asik dengan game-game yang ada di HandPhone sekarang ini.



Permainan Tradisional Lompat Tali



Yang kedua ada Permainan lompat tali. Lompat tali ini bisa menggunakan karet atau tali tambang. Tapi yang sering aku pakai untuk bermain lompat tali ini yaitu karet gelang atau karet ban nama lain yang terkenal di daerah ku. Dulu aku rela lho gak jajan disekolah karena uang jajannya aku pake beli karet ini, kalo dulu beli karet 2 ribu rupiah udah dapet satu kresek penuh tuh karetnya, hehe.. Cara membuatnya pun gampang, kita bisa membuat tali sendiri dengan karet, caranya menyambungkan satu persatu karet hingga panjang dan setelah itu diikat ujungnya dan karet tersebut bisa kita gunakan untuk memainkan lompat tali.
Permainan ini bisa dilakukan dua orang hingga lebih dari sepuluh. Ada dua orang yang memegang tali agar tidak putus. Tapi jika tidak ingin memegang tali maka kita bisa mengikatkan tali dengan pohon atau apapun yang bisa untuk memegang tali ataupun karet. Cara bermainnya dimulai dari tali di letakkan paling bawah lalu kita melompat. Jika tidak bisa melompat maka kita harus menunggu giliran terakhir dan mengulang lompatan dari awal. Setelah itu tali diarahkan sampai atas kepala, dan kita harus melompat diatas tali. Yang menang boleh menyuruh yang kalah untuk melakukan apa saja tetapi tidak boleh yang berat dan aneh-aneh ya....




Rabu, 28 Desember 2016

MAKANAN TRADISIONAL KHAS KLUNGKUNG



Klungkung, Begitu mendengar kata serombotan pikiran pasti langsung tertuju pada Kota Klungkung. Kota yang identik dengan sebutan bumi serombotan. Jenis makanan ini bahkan bisa ditemui hampir di semua desa di Klungkung. Serombotan adalah makanan yang tebuat dari bahan dasar sayur-sayuran yang direbus. Seperti namanya Serombotan merupakan makanan khas yang terdiri dari berbagai sayur–sayuran antara lain kecambah (toge), kacang panjang, bayam, kangkung, buncis, dan terong bulat. Semua jenis sayuran tersebut direbus dengan api sedang hingga matang kecuali terong. Kemudian dipotong pendek untuk mempermudah penyajian. Sayuran yang digunakan untuk membuat serombotan ini juga sangat mudah didapat karena banyak terdapat dipasaran dengan memiliki harga yang cukup terjangkau. Hidangan ini biasanya untuk temannya nasi atau bisa juga ditemani dengan ketipat yang diiris-iris.


Jika selama ini serombotan lebih banyak didominasi oleh sayuran, kini Anda bisa menemukan menu serombotan baru yaitu serombotan kacang. Menu serombotan kacang ini hanya bisa ditemui di Banjar Kayehan Desa Dawan Kaler Klungkung. Dari namanya serombotan kacang tentu didominasi oleh berbagai jenis kacang yang direbus. Jenis-jenis kacang yang biasa dipakai adalah kacang merah, kacang tanah, kacang hitam dan kacang ijo. Berbagai jenis kacang tersebut dikombinasikan dengan sambal kelapa yang menjadi sambel khas dari serombotan. Menu serombotan kacang belum bisa ditemui setiap saat karena hanya tersedia di pagi hari. Cara penjualannya juga cukup unik yaitu dijual keliling dari rumah ke rumah.
Cara Membuat Serombotan Klungkung Khas Bali
A.    Bahan
1.      Kangkung ( 100 gram )
2.      Bayam ( 100 gram )
3.      Kacang Panjang ( 100 gram )
4.      Toge ( 100 gram )
5.      Pare ( 100 gram )
6.      Terong bulat ( 100 gram )
7.      Kacang merah rebus ( 50 gram )
8.      Kacang kedelai rebus ( 50 gram )
9.      Minyak goreng untuk menumis ( 3 sendok makan )
10.  Kelapa parut sangrai ( 200 gram )
11.  Kacang tanah goreng ( 50 gram )

B.     Bumbu
1.      Sambal Kelapa
a.       Bawang putih ( 2 siung )
b.      Cabai merah ( 2 buah )
c.       Cabai rawit ( 3 buah )
d.      Lengkuas ( 1 iris tipis )
e.       Terasi ( 1 sendok teh )
f.       Garam dan penyedap rasa secukupnya

2.      Bumbu Koples
a.       Cabai merah ( 3 buah )
b.      Terasi matang ( 1/2 sendok teh )
c.       Garam dan penyedap rasa secukupnya
d.      Kecap manis ( 1 sendok teh )
e.       Gula pasir ( 1 sendok makan )
f.       Air matang ( 200 ml )
g.      Air jeruk limau ( 1 sendok makan )

C.    Cara Memasak

  •   Potong-potong sayuran, cuci hingga bersih lalu tiriskan. Kemudian rebus masing-masing sayuran kecuali terong. Masing-masing sayuran direbus secara terpisah. 
  • Untuk Sambal Kelapa :
1. Panaskan minyak, tumis bawang putih, cabai merah, cabai rawit dan lengkuas. Untuk terasi di goreng paling akhir.
2. Haluskan bumbu-bumbu yang telah ditumis tadi bersama garam dan penyedap rasa hingga benar-benar halus. Campurkan dengan parutan kelapa sangrai.

  • Untuk Bumbu Koples
Haluskan cabai merah,terasi, garam, penyedap rasa, dan gula pasir hingga benar-benar halus. Campurkan dengan kecap manis, air matang dan air jeruk limau lalu aduk rata.

  • Cara Penyajian
1. Letakkan masing-masing jenis sayuran dan potongan terong dalam piring, lalu beri sambal kelapa di atasnya, dan siram dengan bumbu koples. Taburi kacang tanah dan kacang kedelai rebus di atasnya. 
2.  Hidangkan.

“CERITA RAKYAT BULAN DI PEJENG”


Pada jaman dahulu, jumlah bulan yang ada di langit adalah tujuh. Sinarnya amat terang, letaknya berjajar-jajar. Kemudian satu diantaranya jatuh tersangkut pada pohon “tahep”. Yang enam lainnya masih tinggal di atas langit. Maka dari itu, menurut orang-orang tua, Hari Raya Galungan di Bali datangnya enam bulan sekali. Dan sebelum salah satu bulan itu jatuh, Hari Raya Galungan itu datangnya tiap tujuh bulan sekali.
Nah sekarang diceritakan tentang bulan yang telah jatuh dan tersangkut pada pohon tahep yang tumbuh pada suatu gunung. Siang malam bulan yang tersangkut itu bersinar amat terang sehingga tak pernah ada perbedaan antara antara siang dan malam.
Pada waktu malam haripun sinarnya seperti siang, sebab bulan yang tersangkut itu tiap hari bersinar. Di sanalah pada desa-desa dipinggir gunung yang berada di sekitar tempat  bulan itu, banyak pencuri-pencuri yang merasa amat susah. Mereka tidak berani mencuri, karena hari selalu terang tidak pernah gelap. Dari itu mereka tak pernah makan karena tidak mendapatkan hasil. Oleh karena banyak orang-orang yang suka mencuri di desa itu, maka mereka berunding membicarakan membuat suatu upaya. Mereka takut mencuri karena sinar bulan yang tersangkut itu, kurang lebih ada 20 orang gerombolan mereka. Di situ mareka setuju bersama-sama untuk memnggetarkan pohon tahep itu dari pagi sampai sore, namun bulan itu tidak juga bergerak apalagi akan jatuh. Mereka sampai merasa payah, lapar dan haus, toh mereka tidak mampu juga. Mereka merasa malu, marah dan kemudian ada diantara mereka yang paling kuat dan sakti berkata, “Kalau memang tidak bisa jatuh, aku akan memanjat pohon ini”. “silahkan naik” jawab kawan-kawannya.
Kemudian ia memanjat pohon itu sampai terengah-engah. Dia merasa haus dan lapar. Akhirnya sampailah ia ditempat bulan yang tersangkut itu. Saking jengkelnya kemudian ia sampai buka celananya, dan dikencinginya bulan sambil mengucapkan mantra-mantra, “wong nama.............. wong nama.......................”.
Setelah bulan itu dikencingi. Pohon kayu itu bergetar, dan bulan itu bergerak-gerak dan jatuh. Pencuri sakti itu cepat-cpat turun. Semua cabang-cabang kayu tahep itu patah, tidak ada yang tinggal sama sekali disebabkan oleh jatuhnya bulan itu. Karena itulah pohon tahep itu sampai sekarang tidak bercabang. Nah sesudah buan itu jatuh dan  berada di tanah, demikian juga sesudah pencuri itu turun, maka bulan itu tidak tinggal diam, kemudian berguling-guling sangat cepatnya. Semua tanah disekitar pegunungan itu yang digiling oleh bulan itu menjadi rata membentang. Sewaktu bulan itu terguling-guling. Ada seekor kodok yang tergilas sampai mati dan bangkainya melekat pada bulan itu. Kemudian setelah lama bulan itu terguling-guling lalu berhenti. Kemudian keadaan kembali seperti semula. Diwaktu malam menjadi gelap, diwaktu siang menjadi terang karena bulan yang jatuh itu tidak bersinar lagi.
Sekarang tersebutlah pencuri-pencuri itu. Karena hari sudah gelap, mulailah mereka mencuri lagi ke sana ke mari. Namun setiap rumah yang dimasuki penghuninya terjaga, sehingga selalu kentara saja bila hendak mencuri. Bukankah itu malang juga? sebab walaupun hari sudah gelap tetapi karena pemilik rumah selalu terjaga, ia tidak bisa juga mencuri. Semua pencuri susah tidak bisa mencuri karena selalu kentara saja. Salah satu diantara pencuri itu berpendapat, “Wah kalau begini kita berhenti saja mencuri, walaupun dapat hasil dengan mudah bukanlah kita membikin sakit hati orang? tentu si pemilik menjadi susah dan benci”. Demikian sahut salah seorang pencuri itu. Pencuri yang paling tua berpendapat “sekarang beginilah caranya. Mumpung tanah sekitar pegunungan ini gembur lagi rata karena digilas oleh bulan, marilah kita bekerja menggarap tanah ini. Seandainya ada hujan turun kita akan menanam padi dan bila tidak ada hujan kita akan menanam palawija. Marilah kita mendapatkan suatu hasil dengan susah payah. Dengan meneteskan keringat sendiri”. Pendapatnya itu disetujui oleh semua kawannya. “Kalau begitu, marilah berhenti mencuri dan marilah bekerja, jadikanlah tanah yang rata ini sawah dan cangkulah”. Kemudian mereka pagi-pagi serentak bekerja. Ada yang membawa cangkul untuk mencangkul, ada yang meminta bibit kacang, ada yang minta bibit jagung dan sibuk menanyakan ini dan itu. Karena tanah itu memang gembur, maka mereka dengan mudah menanamnya.  Lama kelamaan hasil kacang itu amat banyak dan buah jagungnya besar-besar. Wah mereka amat senang dan sampai keluar kata-katanya. “Sekarang tibalah saatnya aku tidak kekurangan makanan. Demikian banyak banyak hasilnya kalau dijual, tentu banyak mendapat uang”. Kemudian hasil itu dijual kepasar yang jauh dengan harga yang mahal. Paling tidak satu jagung harganya lima keping uang bolong waktu itu, kalau sekarang paling tidak dua puluh lima rupiah per biji. Mereka amat senang, kemudian mereka bersama-sama bekerja di sawah dan hasilnya amat baik dan tidak pernah tidak berhasil. Sekarang satupun diantara mereka tidak ada yang berkeinginan untuk mencuri. “Kalau demikian halnya, karena bulan yang jatuh inilah menyebabkan kita tidak mencuri lagi, menyebabkan tidak kekurangan makanan”, kata maling itu. “Maka dari sekarang sawah ini kita namakan sawah gunung, sebab semula bulan yang jatuh itu teangkut pada pohon tahep di suatu gunung, dan bekas tanah yang digiling oleh bulan itu menjadi sawah”. Maka itu desa yang berada disekitar gunung tersebut sampai sekarang bernama sawah gunung. Selanjutnya mereka berunding untuk merencanakan membuat bulan itu suatu tempat disekitar sawah itu. Kemudian mereka melapor kepada tuanku raja dikerajaan Batur Anyar tentang adanya bulan yang jatuh itu. Disamping itu semenjak adanya bulan disitu, masyarakat tidak pernah kekurangan makanan. Sawah selalu berhasil dengan baik. Kemudian tuanku raja berkata. “Kalau demikian katamu, sekarang sebaiknya bulan itu diangkat bersama-sama dan bawa kemari kesebelah istanaku serta buatkanlah suatu tempat”. Tidak lama kemudian tanah disana diratakan, dan dibuatkanlah tempat disebelah utara istana Batur Anyar. Lama-kelamaan tempat itu dipuja oleh seluruh masyarakat disana, dibuatkan upacara lengkap diberi sesajen-sesajen di bulan itu. Setelah diupacarakan tiba-tiba hujan turun lebat sekali dan setelah itu bulan itu bersinar lagi. Sinarnya lebih terang dari semula sewaktu tersangkut dipohon tahep itu. Kemudian Sang Hyang Surya menjadi marah, sebab sinarnya dikalahkan oleh sinar bulan itu. Sinar surya panas dan sinar bulan sejuk. Akibatnya sinar panas itu menjadi sejuk.  Lalu apa saja yang hendak dijemur tidak bisa kering, kalau orang-orang menjemur padi gaga dipegunungan tidak kering-kering sehingga tidak bisa membuat beras. Demikian juga segala macam cucian tidak bisa kering, karena sejuknya sinar bulan itu. Saking marahnya Sang Hyang Surya lalu dikutuklah bulan yang terletak disebelah utara istana itu agar tidak bersinar lagi. Akhirnya bulan itu tidak bersinar lagi. “Kapan saja tidak ada hujan pukulah bulan itu tiga kali, sembahyang disana, buatkan upacara, tentu akan turun hujan”, demikianlah bunyi kutuk Sang Hyang Surya. Sedangkan bulan yang berjumlah enam yang berada diatas, sangat lama dikutuknya tapi tidak juga mau terbenam. Malah sinarnya bertambah keras yang menyebabkan dingin juga. Wah masih kalah juga sinar Sang Hyang Surya. Sama sekali tidak masih panas “mengapa sinarku dikalahkan oleh sinar bulan itu? apa gunanya aku membuat panas dan terang. Sangat malu sinarku yang panas dikalahkan oleh bulan itu”, demikian pikirnya. Kemudian Sang Hyang Surya mengambil senjatanya yang bernama senjata lingkup. Karena marahnya maka dipukulah bulan diatas itu menjadi remuk redam sampai tenpencar amat jauh seolah-olah nampaknya melekat dilangit. Bulan yang hancur redam itu ada lima. Pecahannya yang kecil-kecil itu memenuhi langit, oleh karena letaknya satu sama lainnya jauh-jauh dan kecil-kecil, kemudian lama-lama dinamakan bintang.
Bulan yang lima itu sudah hancur. Sekarang yang masih diatas hanya satu. Dan yang satu itu terus diusir oleh Sang Hyang Surya sampai jauh ke barat dan terus bersembunyi dan tidak berani mendekat ke Sang Hyang Surya. Bulan itu tidur di barat satu hari penuh. Dan waktu bulan itu tidak berani menampakkan dirinya, hari itu disebut Tilem. Demikianlah kisahnya Sang Hyang Surya. Sinar bulan itupun sudah dikalahkan oleh sinar surya. “Baiklah, biarkan begitu”, demikianlah pikir Sang Hyang Surya. Dibiarkan begitu saja setelah bulan itu tidur, keesokan harinya sedikit demi sedikit  muncul lagi dari barat terus ke timur bertambah besar selama lima belas hari. Baru saja bulan itu sampai ditimur kemudian muncullah Sang Hyang Surya. Selanjutnya bulan itu kembali menuju kebarat selama lima belas hari. Jadi lima belas hari ke timur dan lima belas hari ke barat. Setelah sampai ditimur terus menuju ke barat sampai namanya Purnama, setelah purnama namanya pengelong. Kemudian tidurlah bulan itu lalu langit pun Menjadi gelap.
Demikianlah tentang adanya bintang-bintang dilangit, dan adanya bulan yang satu itu di atas. Sedangkan bulan yang jatuh itu dipuja di desa Pejeng di Batur Anyar, dan desa itu sampai sekarang namanya Desa Pejeng. Tempat bulan itu sekarang namanya penataran, sebab semula tempat itu tinggi rendah. Kemudian tanah itu oleh masyarakat dibuatkan tempat suci namanya Penataran pejeng. Nama desa Pejeng itu berasal dari pajang. Pajang artinya sinar terang.
Demikianlah cerita orang orang tua jaman dulu tentang adanya bulan. Di Bali, Hari Raya Galungan itu datangnya enam bulan sekali karena bulan yang semula tujuh jatuh satu. Begitu pula pohon tahep itu sampai sekarang tidak bercabang karena ditimpa oleh bulan yang jatuh di gunung itu. Sekarang disana ada desa yang bernama desa sawah gunung. Jadi tentang adanya bulan di desa Pejeng sekarang adalah oleh karena kutukan Sang Hyang Surya sehingga tidak bersinar lagi. Bekas kodok yang digiling oleh bulan itu sampai sekarang masih melekat pada bulan itu.
Nah demikianlah ceritanya. Demikian juga tidak masih orang-orang disekitar orang itu suka mencuri karena banyak terdapat sawah yang dikerjakan. Maka dari itu tidak baik mencuri, lebih baik bekerja untuk mendapatkan hasil. Tidak ada gunanya mencuri, tentu perbuatan yang bersalah, pekerjaan yang selalu membuat sakit hati orang, hasilnya juga amat boros.
Demikianlah cerita tentang bulan di Pejeng.
Keterangan:
Tahep = sejenis pohon keluih tapi daunnya tidak berlekuk-lekuk (rata), buahnya sebesar buah keluih.


Sumber
Suwondo, Bambang. 1977. “Cerita Rakyat Daerah Bali”. Departemen Pendidikan dan  Kebudayaan.


Senin, 12 Desember 2016

ASAL MULA PANTANGAN WARGA TUTUAN MEMAKAN TIMBUL



Pada suatu massa terjadikeanehan di Lingkungan sebuah keluarga. Keluarga tersebut bernama keluarga Tutuan. Keanehan yang terjadi di keluarga ini terjadi ketika keluarga ini memakan buah timbul. Karena setiap memakan buah timbul terjadi sebuah keanehan pada bagian tubuh keluarga ini, maka dilaranglah keluarga Tutuan agar tidak memakan buah timbul. Hal ini telah diwarisi secara turun-temurun oleh keluarga Tutuan. Kepercayaan akan mitos yang diwarisi oleh Keluarga Tutuan bahwa keturunannya tidak boleh memakan buah timbul berawal dari sebuah kejadian yang dialami oleh leluhurnya terdahulu.
Cerita ini berawal dari sebuah kejadian yang dialami oleh seorang ibu dari leluhur Keluarga Tutuan jatuh ke dalam sumur, karena tidak ada yang mengetahui ia jatuh ke dalam sumur ia meninggal di dalam sumur tersebut. Setelah peristiwa jatuhnya ibu tersebut ke dalam sumur, sebuah keajaiban terjadi dari dalam sumur tempat ibu tersebut jatuh tumbuhlah sebatang pohon. Pohon yang tumbuh dari dalam sumur ini adalah pohon timbul. Pohon timbul yang tumbuh tersebut merupakan penjelmaan dari ibu yang jatuh ke dalam sumur.
Hari demi hari  berganti, pohon timbul yang tumbuh dari dalam sumur berbuah. Karena tidak ada yang mengetahui bahwa pohon timbul ini adalah penjelmaan ibu tersebut, maka keturunan ibu tersebut memetik buah timbul itu dan memasaknya. Nah, buah timbul yang sudah dimasak ini kemudian dimakan oleh Keluarga Tutuan. Setelah memakan buah timbul tersebut, terjadilah suatu keanehan pada salah satu bagian tubuh keluarga Tutuan. Keanehan yang terjadi pada bagian kepala keluarga ini adalah tumbuhnya benjolan pada kepala Keluarga Tutuan setelah memakan buah timbul.
Keluarga Tutuan mengira hal itu sebagai suatu kebetulan saja. Untuk membuktikan kebenaran tersebut, bertanyalah keluarga ini pada orang sakti (Balian). Setelah ditanyakan kepada orang sakti, barulah mereka mengetahui bahwa buah timbul yang mereka makan adalah penjelmaan dari ibu leluhur mereka. Oleh karena itu, siapapun dari keturunan keluarga Tutuan yang memakan buah timbul akan mengalami kejadian yang aneh yaitu tumbuh benjolan seperti buah timbul pada bagian kepalanya.
            Dari kejadian yang dialami tersebut, maka berjanjilah Keluarga Tutuan bahwa mereka tidak akan memakan buah timbul sampai keturunan mereka yang selanjutnya. Apabila ada keturunan mereka yang memakan buah timbul akan terjadi hal yang sama yaitu tumbuh benjolan di kepala. Sampai saat ini, larangan memakan buah timbul masih dipercayai oleh Keluarga Tutuan.

Cerita ini juga didukung dengan Sejarah Tutuan berdasarkan Prasasti Tutuan yang tersimpan di Pura Bukit Buluh Gunaksa Klungkung.
PRASASTI KI MANTRI TUTUAN
Kasurat Antuk Bahasa Kawi ( Jawi Kuno )
Om Awighnamastu
Pengaksamaning hulun ring Bhatara Hyang Mami, Sang ginlaring sarining Ongkara Mantra. Iki kandanira Mantri Tutuan, kawit ira munggah ring Prasasti, Sentanan Ida Dalem Mangori. Ida Dalem Mangori, kawit Ida sentanan Dalem Sagening, mijil saking Gunung Agung. Ida Dalem Sagening jumeneng ring Pulo Bali, kasuwen-suwen ring Pulo Bali, raris Ida masentana asiki ngaran Dalem Mangori. Kawekasan Dalem Sagening mantuk ka swargan nyalebongkot. Kari Dalem Mangori, raris Ida ngambil rabi ring Keling, kaprenah putun Ida antuk Mpu Galuh, jumeneng ratu ring Keling ngaran sira Mpu Hati, punika ingalap rabi denira Dalem Mangori. Ida Dalem Mangori sampun puput sekadi solahing ratu ring Keling, tur kabiseka ratu. Kawekasan maduwe sentana asiki lanang, biniseka Ratu Mangori, nanging sampun antes ring raga.
Kalawas-lawas pwa sira, rug jagate ring Erlanggia, ginemok denikang gering agung, ana sentanan Ida Prabu Erlanggia, tinilaring kadaton, nanging istri kantun alit, tur rare punika kawit mabiyang wwong kayak, raris sumusup ring alas Keling, ana kapanggih pisang bawah, ring tengahing alas Keling punika, dadiania ana rare asingidan ring pisang bawah punika, oneng katekana.
Alawas-lawas pwa sira Ida Dalem Mangori, raris lunga maburu ring alas Keling, lacur pemargan Ida, tan ana molih baburonan, dadiania amurang-murang lampah laku nira, kairing antuk waduanira samian. Dadiania ana kapanggih pisang bawah ring tengahing alas Keling ika, raris kapotong pisang punika antuk pedang denira Dalem Mangori. Sampun pegat pisang punika, raris mijil wong pawestri saking pisang bawah punika, ayu ta rupanira, drasatsat sang hyang ratih angandarat, nanging kantun rare wong pawestri punika. Tur raris ingambilana denira Dalem Mangori, kapinalayukta maring Keling. Wong pawestri punika mangaran sira Brit Kuning.
Kalawas pwa sira Ni Brit Kuning malinggih ring Keling, sida sampun duhur, raris karinajasan denira Dalem Mangori. Kasuwen mobot sira Brit Kuning, raris maduwe oka lanang, mangaran I Mantri. Kasuwen I Mantri kaduduk putra ring sira Mpu Hati, tur kapineras denira, karana mandados Satryawangsa. Malih Ni Brit Kuning maduwe oka, nanging kantun alit, pinah wenten pitung sasih. Dadiania ana angetek ikang kali, ring tengahing Alas Keling. Ida Sang Resi angawetu kali sareng saroro, ngaran Sang Resi Suntiwana maharep Sang Resi Saba, sasuhunan manglawan pranakan, raris nyuduk kasuduk sami mapisan antuk lancep tateken sami sapisan raris seda sinarengan mantuk manyuwarga, dening kautamaning kancep punika wit siyung Sang Hyang Kala, ngaran I Sadug I Sadeg. Nanging kantun ring tengahing alas punika, ring linggih Ida nangun kali. Kancit rawuh Dalem Mangori ring tengahing alas punika, kacingak Ida Sang Resi anangun kali, nanging Ida Sang Resi sampun puput manyuwarga, Ida Dalem Mangori pinanggih ana lancep wit tateken Sang Resi maka roro, inamet denira Dalem Mangori.
Caritanen ta sira ana kali wetu ring Keling, nanging saking Ni Brit Kuning anangun kali. Dadiannya angimur-imur ta sira, tur kasedayang sutanira antuk Ni Brit Kuning, raris kapinukang-pukang ikang rare antuk I Biang. Wus kapinukang-pukang, kagenahang ring dulang pangrayunan Dalem, tur tunukuban antuk saab.
Tan caritanen ring awan, kancit rawuh Dalem Mangori, tur angawa lelancep wit tateken sang Resi maka roro, raris kalinggihang ring pamerajan. Sampun puput kalinggihang, Ida Dalem Mangori raris Ida ngandika ring Ni Brit Kuning, “ Uduh Ni Brit Kuning, endi ungguwan sutaningsun”, raris umatur Ni Brit Kuning, “ Singgih pukulun Dalem, irika ikang cili ring dulang unggwanira, sampun wus manira mastika ikang cili, tur sampun puput kapinukang-pukang”, raris Ida Dalem manyingak saparipolah ikang cili ring dulange, sampun puput kapinukang-pukang antuk Ni Brit Kuning, raris Ida Dalem Mangori nyingak rare punika. Meling ring utamaning pawijilan, punika karaning Ida kangen ring raga, tur Ida menangis, raris Ida mabhisama. “ Duh kita rare cili, moga kita mandadi dewa kautaman, riwekasan mangda molihing yasa, mandadi rare juru angon, nanging tan rejana sasuangan I Dawuh Baingin”, asapunika pamastun Ida Dalem Mangori, dadiannya srengen Ida Dalem Mangori, raris Ida manigtig tur kapinaid-paid Ni Brit Kuning, raris kagedos saking dalem kadatuan.
Munggah ring Prasasti Ujarakand.
Punika kalaning ngalas Ni Brit Kuning, raris magenah ring tengahing alas Keling punika, tur kakaryanang tangsi, kuluan tangsi punika madaging sumur tan ana madaging toya, malih pakaryane Ni Brit Kuning matatanduran, lwirnia kang tinandur ring alase : uwi, talas, pulada, punika sane kapuponin ring alas punika.
Alawas-lawas pwa sira okane Ni Brit Kuning ngaran I Satryawangsa meling ring I biyang Ni Brit Kuning, dadiannya umedek sira I Satryawangsa, saha sembah “ Singgih pakulun Dalem, manira umatur ring Dalem, endi unggwan bibinta ngaran Ni Brit Kuning”, “ Ana ring tengahing alas Keling unggwan bibinta “. Malih I Satryawangsa umatur ring Dalem Mangori, “Singgih Dalem, manira mapinunas ring Dalem, buat angeton bibin manira ring tengahing alas punika”, raris ngandika Ida Dalem Mangori “Uduh Satryawangsa, nira angugraha ta sira, nanging ana pamidin ingsun, aja kita anembah bibinta, apan tan wenang kita anembah bibinta, yan kita anembaha, susud kautamanta”, “Singgih pakulun Dalem, manira sairing hyun Dalem” tur saha sembah ring linggih Dalem.
Munggah Ring kata Babad,
Aga I Satryawangsa lumaku ring alas, sampun ndauhin kaulanira mwang pangalasan, angawa asu muwang jaring. Sapraptane ikang kawula raris mangiring, raris memargi I Satryawangsa maring tengahing alas Keling punika.
I Satryawangsa miwah kaulanira raris mamasang jaring, tur nyaragang ikang asu. Asu punika raris anyakal ring tengahing alas, wyakti kacunduk Ni Brit Kuning antuk asu punika, raris Ni Brit Kuning kapilayu, sumusup maring pondok ika, dadiannya asu punika tan sah aburu. Muwang kawulan Ida manyarengin angetut sira anyarag, raris kabelet Ni Brit Kuning ring pondok ika, tur sira Ni Brit Kuning age angineb ikang lawang raris sumirep, dadiannya manangis I Satryawangsa, lingnia masasambatan, “ Ibuninghulun, kasyasih ta nghulun, daweg tingali ta nghulun “. Ring wus mangkana ujarnia, raris medal Ni Brit Kuning saking pondok punika, raris ingusap-usap wadananira I Satryawangsa. Irika I Satryawangsa kapili-pili idepnia raris matur “ Ibuninghulun aptia angaturakna panganjali ring ibu “. Asawur Ni Brit Kuning, “ Uduh anakku, aywa kita nembah aku “, “ Aywa ibu mangkana”.
Irika raris inideran ibunia ring selating bale, I Satryawangsa tan sah anembah ibunia, irika masasirig Ni Brit Kuning ring kuluaning kubu, dening asapunika pramangkin pegat kubu punika, karana ana bale pegat.
Ni Brit Kuning raris tiba maring semer, ngeraris seda Ni Brit Kuning ring semer. Dening sampun seda Ni Brit Kuning, I Satryawangsa agelis angeton bibinta ring tengahing semer, dadiannya mesat atmania Ni Brit Kuning, matemahan Tuhu-tuhu, tur masuara. Malih I Satryawangsa manyingak bibinia, raris anggania mentik manadi timbul. Punika karana I Satryawangsa mabhisama ring timbul, “ Inggih biang Ni Brit Kuning, biang matemahan timbul, tityang ngaturaken bhisama, yening tityang kawekasan mamaksa timbul, sasuangan tityang mangda keni gering sarwa sandi, dening biang Ni Brit Kuning mentik dados timbul “.
Munggah ring Ujarakanda.
Sapunika I Satryawangsa raris budal. Tanucapan ring awan, kancit rawuh ring Keling, raris matur ring Dalem Mangori muah ring sira Mpu Hati, saparipolah ibiang Ni Brit Kuning, katiba maring sumur raris seda, “ Jiwa atmania mesat mandadi Tuhu-tuhu, anggania mentik mandadi timbul”. Asapunika katur ring Ida Dalem Mangori, raris ngandika,” Uduh kita Satryawangsa, nanging ana piteket ira ri kita, dening kita anembah bibinta Ni Brit Kuning, moga kita I Satryawangsa mangda susud gagamanta tkaning kautaman, nanging mangda kaalap arnawan bibinta mwah pawetuania”.
Dening asapunika I Satryawangsa kasusudang ring Ida Dalem Mangori, kawekasan I Satryawangsa raris anyamut ring Bali, punika karaning I Satryawangsa ngaran I Mantri Tutuan.“ Nanging kita tan wenang angajengang timbul, sasuangan kita, dening biang kita mentik dadi timbul”, punika karaning mangkana, I Satryawangsa kaicen sapanganggening mantri sasana.
Munggah ring Babad 1220
Tan ngeh yan carita, raris kaicen sangupati denira Dalem Mangori, lagi ring Gunung Mahameru sira. “ Ih kita Satryawangsa, yen kita pageh ring kawitan muwang ring pawijilan Ida Dalem Mangori, moga kita amanggih kawibawan, yening kita nora pageh, moga kita kurang pangan kinum, muwah panas bara pinanggih ta”,
Heneng katana
Ida Dalem Mangori sayan liyep, raris mantuk maring Taya, raris maganti ratu, saking okan Bhatara Gnijaya, mijil saking Gunung Mekah, jumeneng ratu ring alas Terik, muwang Dalem Mahasakti ring Brambangan, I Mantri Tutuan mamarekan ring Ida, tur kaicen piagem ring Ida Ratu Sakti, dening I Mantri Tutuan katereh denira Prabu Erlangga saking Kediri nanging saking istri, saking purusa Ida Dalem Mangori. Wit I Mantri Tutuan maibu solot, sira I Mantri Tutuan polih mamarekan ring Ida Sang Prabu Erlanggya saking Kediri.
Alawas-lawas pwa sira I Mantri Tutuan, mapamit ring Ida Sang Prabu Erlanggya, I Mantri Tutuan raris nyamut ring Bali, ring Ida Dalem Tegal Belesung, kawekas Ida Sang Prabu Erlanggya saking Kediri, ana putun ira sawiji ngaran Ratu ring Kuripan, punika jumeneng ring Bukit Buluh, Ida rumaga dewa kautaman, nanging Ida mairingan kekalih ngaran Ni Brit Kuning naler meraga dewa, punika manados ameng-amengan ring Bukit Buluh, angemit ratuning Kuripan.Sane asiki rare Angon, wit sutanira Ni Brit Kuning, sane nguni duk rare kapinukang-pukang, punika manados dewa kautaman, punika ngemit Ida ring Bukit Buluh, tan sah mangangon lembu irika.





Disebutkan perjalanan sejarah seorang Maha Rsi yang bernama Maha Rsi Segening (Empu Keling) yang mendapatkan Moksah di Gunung Tohlangkir, yang kemudian dikenal bernama Gunung Agung. Empu Keling adalah Putra Empu Siwa Gandhu, dan Empu Siwa Gandhu adalah salah seorang Putra dari Empu Beradah. Empu Keling berputra yang bernama Dalem Mangori. Dalam pejalanan hidup beliau (Dalem Mangori) adalah seorang Penguasa Wilayah Keling di Jawa Dwipa.
Di Jawa Dwipa Dalem Mangori menikahi seorang Ratu Dari kerajaan Kalingga yang bernama Dyah Mpu Wati (cucu dari Mpu Galuh alias Ratu Sima). Dari pernikahan beliau menurunkan Ratu Mangori yang kemudian menurunkan Arya Kanuruhan sekretaris Raja Gelgel. Arya Kanuruhan berputra tiga orang yaitu Pangeran Tangkas, Arya Brang Singa dan Arya Pegatepan.
Dalem Mangori dikenal sebagai seorang Dalem yang suka berburu ketengah hutan Keling. Suatu hari dalam perburuannya, beliau bertemu seorang gadis kecil di bawah sebuah pohon pisang yang berparas sangat cantik. Anak gadis itu dipungut dan dibawa ke kerajaan dan diberi nama Brit Kuning. Brit Kuning kemudian diketahui adalah seorang putri kerajaan Airlangga, dan setelah menginjak dewasa Brit Kuning dinikahi Dalem sebagai istri penawing di kerajaan dan berputra laki – laki yang di beri nama Mantri Anom. Mantri Anom kemudian diangakat putra oleh Dyah Mpu Wati (diadopsi) bergelar Satrya Wangsa.
Berselang kurun waktu tertentu Brit Kuningpun melahirkan putranya yang kedua. Entah karena salah paham bagaimana, Brit Kuning membunuh putranya untuk dijadikan santapan Dalem Mangori. Mengetahui keadaan demikian betapa marahnya Dalem terhadap Brit Kuning, serta mengusirnya dari kerajaan dan diasingkan ke tengah hutan Keling. Dalam keadaan yang sedang marah begitulah runtuh sabda Dalem Mangori terhadap putranya, “Wahai Anakku, semoga engkau cepat manumitis dan menjelmalah engkau sebagai manusia yang bisa menghilang, lahirlah sebagai seorang gembala dengan nama Rare Angon”.
Waktu terus berlalu Satria Wangsapun kini memasuki usia dewasa. Bertanyalah dia tentang keberadaan ibu kandung yang melahirkannya. Dalem tak kuasa untuk menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, dan dikatakanlah bahwa ibu kandungnya telah diusir dan diasingkan ke tengah hutan Keling karena kesalahannya telah membunuh adik kandung Satria Wangsa ketika masih bayi. Seketika itu muncul di dalam keinginan Satri Wangsa untuk bertemu ibunya seraya minta ijin dari Dalem Mangori.  Dalem mengabulkan niat Stria Wangsa untuk bertemu ibu kandungnya dengan suatu pesan yang tidak boleh dilanggar oleh Satria Wangsa bahwa tidak diperkenankan untuk menyembah ibunya karena secara status ibunya telah dikeluarkan dari status kerajaan akibat kesalahannya telah membunuh putranya sendiri.
Satria Wangsa segera beranjak menuju hutan Keling dengan diiringi oleh pasukan kerajaan dan pengawal. Ketika berada di tengah hutan dan bertemu ibunya Satria Wangsa merasa tidak tega untuk tidak menyembah sang ibu yang melahirkannya, kendatipun telah diperingatkan ayahandanya. Brit Kuningpun menolak untuk disembah karena telah mengetahui posisi dirinya dan status anaknya sebagai seorang putra Dalem. Brit Kuning berlari dan bersembunyi di balik tembok biliknya. Satria Wangsa tetap menyembahnya, sehingga keanehan terjadi dan terbelahlah bangunan bilik itu menjadi dua sehingga ada ceritra tentang bale pegat sejak saat itu yang kemudian dikenal di Bali. Brit Kuning tak henti berlari menghindari untuk disembah Putranya hingga akhirnya dia terperosot kedalam sebuah sumur di belakang rumahnya dan terjatuh. Mengetahui hal itu terjadi Satria Wangsa segera berlari dan mengejar hendak menolong, tapi tak bisa. Ibunya telah terjatuh kedalam sumur itu dan keanehan terjadi lagi. Dari dalam sumur seketika tumbuh pohon Timbul dan di puncak hinggap seekor burung tuu-tuu. Ketika itulah Satria Wangsa bersumpah untuk tidak memakan buah timbul dan tidak menyakiti burung tut-tuu hingga seketurunannya. Bahkan tidak juga boleh meminum air sumur.
Setelah semuanya terjadi, kini Satria Wangsa bertolak ke istana dan bertemu ayahandanya serta menceritrakan kejadian di tengah hutan itu kepada ayahnya Dalem Mangori. Mendengar ceritra Satria Wangsa, Dalem Mangori marah dan serta merta mengusir Satria Wangsa dari istana Kalingga serta mencopot gelar yang disandangnya sebagai seorang putra kerajaan karena telah berani melanggar larangan Dalem. Satria Wangsapun pergi dan menuju kerajaan Airlangga untuk bertemu kakeknya Prabu Airlanga. Di kerajaan itu Satria Wangsa menceritrakan hal yang terjadi kepada Sang Prabu Airlangga dan akhirnya menyarankan Satria Wangsa datang ke Bali untuk bertemu Dalem Tegal Belesung, dengan menyandang gelar baru yaitu “Mantri Tutuan”. Matri Tutuan diterima Dalem Tegal Belesung, dan menetap di Bukit Buluh Gunaksa, Klungkung, Bali, yang selanjutnya menjadi pusat dari keturunan KI Manti Tutuan.