Pada
jaman dahulu, jumlah bulan yang ada di langit adalah tujuh. Sinarnya amat
terang, letaknya berjajar-jajar. Kemudian satu diantaranya jatuh tersangkut
pada pohon “tahep”. Yang enam lainnya masih tinggal di atas langit. Maka dari
itu, menurut orang-orang tua, Hari Raya Galungan di Bali datangnya enam bulan
sekali. Dan sebelum salah satu bulan itu jatuh, Hari Raya Galungan itu
datangnya tiap tujuh bulan sekali.
Nah
sekarang diceritakan tentang bulan yang telah jatuh dan tersangkut pada pohon
tahep yang tumbuh pada suatu gunung. Siang malam bulan yang tersangkut itu
bersinar amat terang sehingga tak pernah ada perbedaan antara antara siang dan
malam.
Pada
waktu malam haripun sinarnya seperti siang, sebab bulan yang tersangkut itu tiap
hari bersinar. Di sanalah pada desa-desa dipinggir gunung yang berada di
sekitar tempat bulan itu, banyak
pencuri-pencuri yang merasa amat susah. Mereka tidak berani mencuri, karena
hari selalu terang tidak pernah gelap. Dari itu mereka tak pernah makan karena
tidak mendapatkan hasil. Oleh karena banyak orang-orang yang suka mencuri di
desa itu, maka mereka berunding membicarakan membuat suatu upaya. Mereka takut
mencuri karena sinar bulan yang tersangkut itu, kurang lebih ada 20 orang gerombolan
mereka. Di situ mareka setuju bersama-sama untuk memnggetarkan pohon tahep itu
dari pagi sampai sore, namun bulan itu tidak juga bergerak apalagi akan jatuh.
Mereka sampai merasa payah, lapar dan haus, toh mereka tidak mampu juga. Mereka
merasa malu, marah dan kemudian ada diantara mereka yang paling kuat dan sakti
berkata, “Kalau memang tidak bisa jatuh, aku akan memanjat pohon ini”. “silahkan
naik” jawab kawan-kawannya.
Kemudian
ia memanjat pohon itu sampai terengah-engah. Dia merasa haus dan lapar.
Akhirnya sampailah ia ditempat bulan yang tersangkut itu. Saking jengkelnya
kemudian ia sampai buka celananya, dan dikencinginya bulan sambil mengucapkan
mantra-mantra, “wong nama.............. wong nama.......................”.
Setelah
bulan itu dikencingi. Pohon kayu itu bergetar, dan bulan itu bergerak-gerak dan
jatuh. Pencuri sakti itu cepat-cpat turun. Semua cabang-cabang kayu tahep itu
patah, tidak ada yang tinggal sama sekali disebabkan oleh jatuhnya bulan itu.
Karena itulah pohon tahep itu sampai sekarang tidak bercabang. Nah sesudah buan
itu jatuh dan berada di tanah, demikian
juga sesudah pencuri itu turun, maka bulan itu tidak tinggal diam, kemudian
berguling-guling sangat cepatnya. Semua tanah disekitar pegunungan itu yang
digiling oleh bulan itu menjadi rata membentang. Sewaktu bulan itu
terguling-guling. Ada seekor kodok yang tergilas sampai mati dan bangkainya
melekat pada bulan itu. Kemudian setelah lama bulan itu terguling-guling lalu
berhenti. Kemudian keadaan kembali seperti semula. Diwaktu malam menjadi gelap,
diwaktu siang menjadi terang karena bulan yang jatuh itu tidak bersinar lagi.
Sekarang
tersebutlah pencuri-pencuri itu. Karena hari sudah gelap, mulailah mereka
mencuri lagi ke sana ke mari. Namun setiap rumah yang dimasuki penghuninya
terjaga, sehingga selalu kentara saja bila hendak mencuri. Bukankah itu malang
juga? sebab walaupun hari sudah gelap tetapi karena pemilik rumah selalu
terjaga, ia tidak bisa juga mencuri. Semua pencuri susah tidak bisa mencuri
karena selalu kentara saja. Salah satu diantara pencuri itu berpendapat, “Wah
kalau begini kita berhenti saja mencuri, walaupun dapat hasil dengan mudah
bukanlah kita membikin sakit hati orang? tentu si pemilik menjadi susah dan
benci”. Demikian sahut salah seorang pencuri itu. Pencuri yang paling tua
berpendapat “sekarang beginilah caranya. Mumpung tanah sekitar pegunungan ini
gembur lagi rata karena digilas oleh bulan, marilah kita bekerja menggarap
tanah ini. Seandainya ada hujan turun kita akan menanam padi dan bila tidak ada
hujan kita akan menanam palawija. Marilah kita mendapatkan suatu hasil dengan
susah payah. Dengan meneteskan keringat sendiri”. Pendapatnya itu disetujui
oleh semua kawannya. “Kalau begitu, marilah berhenti mencuri dan marilah
bekerja, jadikanlah tanah yang rata ini sawah dan cangkulah”. Kemudian mereka
pagi-pagi serentak bekerja. Ada yang membawa cangkul untuk mencangkul, ada yang
meminta bibit kacang, ada yang minta bibit jagung dan sibuk menanyakan ini dan
itu. Karena tanah itu memang gembur, maka mereka dengan mudah menanamnya. Lama kelamaan hasil kacang itu amat banyak
dan buah jagungnya besar-besar. Wah mereka amat senang dan sampai keluar
kata-katanya. “Sekarang tibalah saatnya aku tidak kekurangan makanan. Demikian
banyak banyak hasilnya kalau dijual, tentu banyak mendapat uang”. Kemudian
hasil itu dijual kepasar yang jauh dengan harga yang mahal. Paling tidak satu
jagung harganya lima keping uang bolong waktu itu, kalau sekarang paling tidak
dua puluh lima rupiah per biji. Mereka amat senang, kemudian mereka
bersama-sama bekerja di sawah dan hasilnya amat baik dan tidak pernah tidak
berhasil. Sekarang satupun diantara mereka tidak ada yang berkeinginan untuk
mencuri. “Kalau demikian halnya, karena bulan yang jatuh inilah menyebabkan
kita tidak mencuri lagi, menyebabkan tidak kekurangan makanan”, kata maling
itu. “Maka dari sekarang sawah ini kita namakan sawah gunung, sebab semula
bulan yang jatuh itu teangkut pada pohon tahep di suatu gunung, dan bekas tanah
yang digiling oleh bulan itu menjadi sawah”. Maka itu desa yang berada
disekitar gunung tersebut sampai sekarang bernama sawah gunung. Selanjutnya
mereka berunding untuk merencanakan membuat bulan itu suatu tempat disekitar
sawah itu. Kemudian mereka melapor kepada tuanku raja dikerajaan Batur Anyar
tentang adanya bulan yang jatuh itu. Disamping itu semenjak adanya bulan
disitu, masyarakat tidak pernah kekurangan makanan. Sawah selalu berhasil
dengan baik. Kemudian tuanku raja berkata. “Kalau demikian katamu, sekarang
sebaiknya bulan itu diangkat bersama-sama dan bawa kemari kesebelah istanaku
serta buatkanlah suatu tempat”. Tidak lama kemudian tanah disana diratakan, dan
dibuatkanlah tempat disebelah utara istana Batur Anyar. Lama-kelamaan tempat
itu dipuja oleh seluruh masyarakat disana, dibuatkan upacara lengkap diberi
sesajen-sesajen di bulan itu. Setelah diupacarakan tiba-tiba hujan turun lebat
sekali dan setelah itu bulan itu bersinar lagi. Sinarnya lebih terang dari
semula sewaktu tersangkut dipohon tahep itu. Kemudian Sang Hyang Surya menjadi
marah, sebab sinarnya dikalahkan oleh sinar bulan itu. Sinar surya panas dan
sinar bulan sejuk. Akibatnya sinar panas itu menjadi sejuk. Lalu apa saja yang hendak dijemur tidak bisa
kering, kalau orang-orang menjemur padi gaga dipegunungan tidak kering-kering
sehingga tidak bisa membuat beras. Demikian juga segala macam cucian tidak bisa
kering, karena sejuknya sinar bulan itu. Saking marahnya Sang Hyang Surya lalu
dikutuklah bulan yang terletak disebelah utara istana itu agar tidak bersinar
lagi. Akhirnya bulan itu tidak bersinar lagi. “Kapan saja tidak ada hujan
pukulah bulan itu tiga kali, sembahyang disana, buatkan upacara, tentu akan
turun hujan”, demikianlah bunyi kutuk Sang Hyang Surya. Sedangkan bulan yang
berjumlah enam yang berada diatas, sangat lama dikutuknya tapi tidak juga mau
terbenam. Malah sinarnya bertambah keras yang menyebabkan dingin juga. Wah
masih kalah juga sinar Sang Hyang Surya. Sama sekali tidak masih panas “mengapa
sinarku dikalahkan oleh sinar bulan itu? apa gunanya aku membuat panas dan
terang. Sangat malu sinarku yang panas dikalahkan oleh bulan itu”, demikian
pikirnya. Kemudian Sang Hyang Surya mengambil senjatanya yang bernama senjata
lingkup. Karena marahnya maka dipukulah bulan diatas itu menjadi remuk redam
sampai tenpencar amat jauh seolah-olah nampaknya melekat dilangit. Bulan yang
hancur redam itu ada lima. Pecahannya yang kecil-kecil itu memenuhi langit,
oleh karena letaknya satu sama lainnya jauh-jauh dan kecil-kecil, kemudian
lama-lama dinamakan bintang.
Bulan
yang lima itu sudah hancur. Sekarang yang masih diatas hanya satu. Dan yang
satu itu terus diusir oleh Sang Hyang Surya sampai jauh ke barat dan terus
bersembunyi dan tidak berani mendekat ke Sang Hyang Surya. Bulan itu tidur di
barat satu hari penuh. Dan waktu bulan itu tidak berani menampakkan dirinya,
hari itu disebut Tilem. Demikianlah kisahnya Sang Hyang Surya. Sinar bulan
itupun sudah dikalahkan oleh sinar surya. “Baiklah, biarkan begitu”, demikianlah
pikir Sang Hyang Surya. Dibiarkan begitu saja setelah bulan itu tidur, keesokan
harinya sedikit demi sedikit muncul lagi
dari barat terus ke timur bertambah besar selama lima belas hari. Baru saja
bulan itu sampai ditimur kemudian muncullah Sang Hyang Surya. Selanjutnya bulan
itu kembali menuju kebarat selama lima belas hari. Jadi lima belas hari ke
timur dan lima belas hari ke barat. Setelah sampai ditimur terus menuju ke
barat sampai namanya Purnama, setelah purnama namanya pengelong. Kemudian
tidurlah bulan itu lalu langit pun Menjadi gelap.
Demikianlah
tentang adanya bintang-bintang dilangit, dan adanya bulan yang satu itu di
atas. Sedangkan bulan yang jatuh itu dipuja di desa Pejeng di Batur Anyar, dan
desa itu sampai sekarang namanya Desa Pejeng. Tempat bulan itu sekarang namanya
penataran, sebab semula tempat itu tinggi rendah. Kemudian tanah itu oleh
masyarakat dibuatkan tempat suci namanya Penataran pejeng. Nama desa Pejeng itu
berasal dari pajang. Pajang artinya sinar terang.
Demikianlah
cerita orang orang tua jaman dulu tentang adanya bulan. Di Bali, Hari Raya
Galungan itu datangnya enam bulan sekali karena bulan yang semula tujuh jatuh
satu. Begitu pula pohon tahep itu sampai sekarang tidak bercabang karena
ditimpa oleh bulan yang jatuh di gunung itu. Sekarang disana ada desa yang
bernama desa sawah gunung. Jadi tentang adanya bulan di desa Pejeng sekarang
adalah oleh karena kutukan Sang Hyang Surya sehingga tidak bersinar lagi. Bekas
kodok yang digiling oleh bulan itu sampai sekarang masih melekat pada bulan
itu.
Nah
demikianlah ceritanya. Demikian juga tidak masih orang-orang disekitar orang
itu suka mencuri karena banyak terdapat sawah yang dikerjakan. Maka dari itu
tidak baik mencuri, lebih baik bekerja untuk mendapatkan hasil. Tidak ada
gunanya mencuri, tentu perbuatan yang bersalah, pekerjaan yang selalu membuat
sakit hati orang, hasilnya juga amat boros.
Demikianlah
cerita tentang bulan di Pejeng.
Keterangan:
Tahep
= sejenis pohon keluih tapi daunnya tidak berlekuk-lekuk (rata), buahnya
sebesar buah keluih.
Sumber
Suwondo,
Bambang. 1977. “Cerita Rakyat Daerah Bali”.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Slots, casino games - Xn Games
BalasHapusBest online slots 2021. Play for free the best casino games of 카지노사이트 the casino, from dafabet link video slots to fun88 vin progressive jackpots.