Rabu, 28 Desember 2016

“CERITA RAKYAT BULAN DI PEJENG”


Pada jaman dahulu, jumlah bulan yang ada di langit adalah tujuh. Sinarnya amat terang, letaknya berjajar-jajar. Kemudian satu diantaranya jatuh tersangkut pada pohon “tahep”. Yang enam lainnya masih tinggal di atas langit. Maka dari itu, menurut orang-orang tua, Hari Raya Galungan di Bali datangnya enam bulan sekali. Dan sebelum salah satu bulan itu jatuh, Hari Raya Galungan itu datangnya tiap tujuh bulan sekali.
Nah sekarang diceritakan tentang bulan yang telah jatuh dan tersangkut pada pohon tahep yang tumbuh pada suatu gunung. Siang malam bulan yang tersangkut itu bersinar amat terang sehingga tak pernah ada perbedaan antara antara siang dan malam.
Pada waktu malam haripun sinarnya seperti siang, sebab bulan yang tersangkut itu tiap hari bersinar. Di sanalah pada desa-desa dipinggir gunung yang berada di sekitar tempat  bulan itu, banyak pencuri-pencuri yang merasa amat susah. Mereka tidak berani mencuri, karena hari selalu terang tidak pernah gelap. Dari itu mereka tak pernah makan karena tidak mendapatkan hasil. Oleh karena banyak orang-orang yang suka mencuri di desa itu, maka mereka berunding membicarakan membuat suatu upaya. Mereka takut mencuri karena sinar bulan yang tersangkut itu, kurang lebih ada 20 orang gerombolan mereka. Di situ mareka setuju bersama-sama untuk memnggetarkan pohon tahep itu dari pagi sampai sore, namun bulan itu tidak juga bergerak apalagi akan jatuh. Mereka sampai merasa payah, lapar dan haus, toh mereka tidak mampu juga. Mereka merasa malu, marah dan kemudian ada diantara mereka yang paling kuat dan sakti berkata, “Kalau memang tidak bisa jatuh, aku akan memanjat pohon ini”. “silahkan naik” jawab kawan-kawannya.
Kemudian ia memanjat pohon itu sampai terengah-engah. Dia merasa haus dan lapar. Akhirnya sampailah ia ditempat bulan yang tersangkut itu. Saking jengkelnya kemudian ia sampai buka celananya, dan dikencinginya bulan sambil mengucapkan mantra-mantra, “wong nama.............. wong nama.......................”.
Setelah bulan itu dikencingi. Pohon kayu itu bergetar, dan bulan itu bergerak-gerak dan jatuh. Pencuri sakti itu cepat-cpat turun. Semua cabang-cabang kayu tahep itu patah, tidak ada yang tinggal sama sekali disebabkan oleh jatuhnya bulan itu. Karena itulah pohon tahep itu sampai sekarang tidak bercabang. Nah sesudah buan itu jatuh dan  berada di tanah, demikian juga sesudah pencuri itu turun, maka bulan itu tidak tinggal diam, kemudian berguling-guling sangat cepatnya. Semua tanah disekitar pegunungan itu yang digiling oleh bulan itu menjadi rata membentang. Sewaktu bulan itu terguling-guling. Ada seekor kodok yang tergilas sampai mati dan bangkainya melekat pada bulan itu. Kemudian setelah lama bulan itu terguling-guling lalu berhenti. Kemudian keadaan kembali seperti semula. Diwaktu malam menjadi gelap, diwaktu siang menjadi terang karena bulan yang jatuh itu tidak bersinar lagi.
Sekarang tersebutlah pencuri-pencuri itu. Karena hari sudah gelap, mulailah mereka mencuri lagi ke sana ke mari. Namun setiap rumah yang dimasuki penghuninya terjaga, sehingga selalu kentara saja bila hendak mencuri. Bukankah itu malang juga? sebab walaupun hari sudah gelap tetapi karena pemilik rumah selalu terjaga, ia tidak bisa juga mencuri. Semua pencuri susah tidak bisa mencuri karena selalu kentara saja. Salah satu diantara pencuri itu berpendapat, “Wah kalau begini kita berhenti saja mencuri, walaupun dapat hasil dengan mudah bukanlah kita membikin sakit hati orang? tentu si pemilik menjadi susah dan benci”. Demikian sahut salah seorang pencuri itu. Pencuri yang paling tua berpendapat “sekarang beginilah caranya. Mumpung tanah sekitar pegunungan ini gembur lagi rata karena digilas oleh bulan, marilah kita bekerja menggarap tanah ini. Seandainya ada hujan turun kita akan menanam padi dan bila tidak ada hujan kita akan menanam palawija. Marilah kita mendapatkan suatu hasil dengan susah payah. Dengan meneteskan keringat sendiri”. Pendapatnya itu disetujui oleh semua kawannya. “Kalau begitu, marilah berhenti mencuri dan marilah bekerja, jadikanlah tanah yang rata ini sawah dan cangkulah”. Kemudian mereka pagi-pagi serentak bekerja. Ada yang membawa cangkul untuk mencangkul, ada yang meminta bibit kacang, ada yang minta bibit jagung dan sibuk menanyakan ini dan itu. Karena tanah itu memang gembur, maka mereka dengan mudah menanamnya.  Lama kelamaan hasil kacang itu amat banyak dan buah jagungnya besar-besar. Wah mereka amat senang dan sampai keluar kata-katanya. “Sekarang tibalah saatnya aku tidak kekurangan makanan. Demikian banyak banyak hasilnya kalau dijual, tentu banyak mendapat uang”. Kemudian hasil itu dijual kepasar yang jauh dengan harga yang mahal. Paling tidak satu jagung harganya lima keping uang bolong waktu itu, kalau sekarang paling tidak dua puluh lima rupiah per biji. Mereka amat senang, kemudian mereka bersama-sama bekerja di sawah dan hasilnya amat baik dan tidak pernah tidak berhasil. Sekarang satupun diantara mereka tidak ada yang berkeinginan untuk mencuri. “Kalau demikian halnya, karena bulan yang jatuh inilah menyebabkan kita tidak mencuri lagi, menyebabkan tidak kekurangan makanan”, kata maling itu. “Maka dari sekarang sawah ini kita namakan sawah gunung, sebab semula bulan yang jatuh itu teangkut pada pohon tahep di suatu gunung, dan bekas tanah yang digiling oleh bulan itu menjadi sawah”. Maka itu desa yang berada disekitar gunung tersebut sampai sekarang bernama sawah gunung. Selanjutnya mereka berunding untuk merencanakan membuat bulan itu suatu tempat disekitar sawah itu. Kemudian mereka melapor kepada tuanku raja dikerajaan Batur Anyar tentang adanya bulan yang jatuh itu. Disamping itu semenjak adanya bulan disitu, masyarakat tidak pernah kekurangan makanan. Sawah selalu berhasil dengan baik. Kemudian tuanku raja berkata. “Kalau demikian katamu, sekarang sebaiknya bulan itu diangkat bersama-sama dan bawa kemari kesebelah istanaku serta buatkanlah suatu tempat”. Tidak lama kemudian tanah disana diratakan, dan dibuatkanlah tempat disebelah utara istana Batur Anyar. Lama-kelamaan tempat itu dipuja oleh seluruh masyarakat disana, dibuatkan upacara lengkap diberi sesajen-sesajen di bulan itu. Setelah diupacarakan tiba-tiba hujan turun lebat sekali dan setelah itu bulan itu bersinar lagi. Sinarnya lebih terang dari semula sewaktu tersangkut dipohon tahep itu. Kemudian Sang Hyang Surya menjadi marah, sebab sinarnya dikalahkan oleh sinar bulan itu. Sinar surya panas dan sinar bulan sejuk. Akibatnya sinar panas itu menjadi sejuk.  Lalu apa saja yang hendak dijemur tidak bisa kering, kalau orang-orang menjemur padi gaga dipegunungan tidak kering-kering sehingga tidak bisa membuat beras. Demikian juga segala macam cucian tidak bisa kering, karena sejuknya sinar bulan itu. Saking marahnya Sang Hyang Surya lalu dikutuklah bulan yang terletak disebelah utara istana itu agar tidak bersinar lagi. Akhirnya bulan itu tidak bersinar lagi. “Kapan saja tidak ada hujan pukulah bulan itu tiga kali, sembahyang disana, buatkan upacara, tentu akan turun hujan”, demikianlah bunyi kutuk Sang Hyang Surya. Sedangkan bulan yang berjumlah enam yang berada diatas, sangat lama dikutuknya tapi tidak juga mau terbenam. Malah sinarnya bertambah keras yang menyebabkan dingin juga. Wah masih kalah juga sinar Sang Hyang Surya. Sama sekali tidak masih panas “mengapa sinarku dikalahkan oleh sinar bulan itu? apa gunanya aku membuat panas dan terang. Sangat malu sinarku yang panas dikalahkan oleh bulan itu”, demikian pikirnya. Kemudian Sang Hyang Surya mengambil senjatanya yang bernama senjata lingkup. Karena marahnya maka dipukulah bulan diatas itu menjadi remuk redam sampai tenpencar amat jauh seolah-olah nampaknya melekat dilangit. Bulan yang hancur redam itu ada lima. Pecahannya yang kecil-kecil itu memenuhi langit, oleh karena letaknya satu sama lainnya jauh-jauh dan kecil-kecil, kemudian lama-lama dinamakan bintang.
Bulan yang lima itu sudah hancur. Sekarang yang masih diatas hanya satu. Dan yang satu itu terus diusir oleh Sang Hyang Surya sampai jauh ke barat dan terus bersembunyi dan tidak berani mendekat ke Sang Hyang Surya. Bulan itu tidur di barat satu hari penuh. Dan waktu bulan itu tidak berani menampakkan dirinya, hari itu disebut Tilem. Demikianlah kisahnya Sang Hyang Surya. Sinar bulan itupun sudah dikalahkan oleh sinar surya. “Baiklah, biarkan begitu”, demikianlah pikir Sang Hyang Surya. Dibiarkan begitu saja setelah bulan itu tidur, keesokan harinya sedikit demi sedikit  muncul lagi dari barat terus ke timur bertambah besar selama lima belas hari. Baru saja bulan itu sampai ditimur kemudian muncullah Sang Hyang Surya. Selanjutnya bulan itu kembali menuju kebarat selama lima belas hari. Jadi lima belas hari ke timur dan lima belas hari ke barat. Setelah sampai ditimur terus menuju ke barat sampai namanya Purnama, setelah purnama namanya pengelong. Kemudian tidurlah bulan itu lalu langit pun Menjadi gelap.
Demikianlah tentang adanya bintang-bintang dilangit, dan adanya bulan yang satu itu di atas. Sedangkan bulan yang jatuh itu dipuja di desa Pejeng di Batur Anyar, dan desa itu sampai sekarang namanya Desa Pejeng. Tempat bulan itu sekarang namanya penataran, sebab semula tempat itu tinggi rendah. Kemudian tanah itu oleh masyarakat dibuatkan tempat suci namanya Penataran pejeng. Nama desa Pejeng itu berasal dari pajang. Pajang artinya sinar terang.
Demikianlah cerita orang orang tua jaman dulu tentang adanya bulan. Di Bali, Hari Raya Galungan itu datangnya enam bulan sekali karena bulan yang semula tujuh jatuh satu. Begitu pula pohon tahep itu sampai sekarang tidak bercabang karena ditimpa oleh bulan yang jatuh di gunung itu. Sekarang disana ada desa yang bernama desa sawah gunung. Jadi tentang adanya bulan di desa Pejeng sekarang adalah oleh karena kutukan Sang Hyang Surya sehingga tidak bersinar lagi. Bekas kodok yang digiling oleh bulan itu sampai sekarang masih melekat pada bulan itu.
Nah demikianlah ceritanya. Demikian juga tidak masih orang-orang disekitar orang itu suka mencuri karena banyak terdapat sawah yang dikerjakan. Maka dari itu tidak baik mencuri, lebih baik bekerja untuk mendapatkan hasil. Tidak ada gunanya mencuri, tentu perbuatan yang bersalah, pekerjaan yang selalu membuat sakit hati orang, hasilnya juga amat boros.
Demikianlah cerita tentang bulan di Pejeng.
Keterangan:
Tahep = sejenis pohon keluih tapi daunnya tidak berlekuk-lekuk (rata), buahnya sebesar buah keluih.


Sumber
Suwondo, Bambang. 1977. “Cerita Rakyat Daerah Bali”. Departemen Pendidikan dan  Kebudayaan.


1 komentar:

  1. Slots, casino games - Xn Games
    Best online slots 2021. Play for free the best casino games of 카지노사이트 the casino, from dafabet link video slots to fun88 vin progressive jackpots.

    BalasHapus